Ups and Downs: Mempelajari Bahasa


Saya ingin mencurahkan pikiran sebentar (curpik, bukan curhat, hahaha). Saya sudah jauh melewati usia pendidikan dasar (wajib belajar 12 tahun plus mencicipi indahnya jadi siswa di sekolah yang tidak wajib alias kuliah), tetapi memiliki ketergantungan yang lumayan kuat pada kegiatan belajar. Saya suka belajar dan ingin terus belajar. Kegemaran saya yang tidak pernah luntur adalah belajar mengenai bahasa. Cita-cita saya tidak muluk-muluk kok, saya keturunan Jawa (wong Jawa) dan warganegara Indonesia, saya merasa sudah seharusnya fasih basa Jawa dan bahasa Indonesia. Satu bahasa lagi: bahasa Inggris, sebagai bahasa ampuh yang bisa kita gunakan ke hampir seluruh belahan bumi untuk bisa bertahan hidup (siapa tahu saya mendapat kesempatan untuk menjelajahi negeri indah lainnya). 
 Kemampuan bahasa Indonesia saya sebenarnya bisa dibilang sangat lumayan, tapi kemampuan ini tentu tidak kentara karena saya lahir, besar dan hidup diantara orang-orang yang berbahasa Indonesia, hahaha... Saya sebenarnya sangat prihatin dengan perkembangan penggunaan bahasa Indonesia. Okelah, kalau dalam suasana informal, kita bisa menggunakan bahasa Indonesia yang lebih slang. Hal ini seturut dengan perkembangan sosial-budaya yang menuntut adalah istilah, ungkapan maupun slogan yang lebih bisa menggambarkan maksud pembicaraan (biar lebih gahol geto...). Yang memprihatinkan adalah saat dalam suasana formal (misalnya saat mengerjakan karya tulis: makalah, skripsi, tesis, dst.), kalangan muda sekarang kurang menghiraukan tata bahasa yang benar. Jujur, saya sendiri terkadang kelupaan, tapi saya biasanya akan mengoreksi kembali pekerjaan saya (kalau masih sempat, hehehe). Tata bahasa yang sering terlewatkan adalah cara pemakaian istilah asing dan istilah serapan, membedakan kata depan dan imbuhan, penggunaan tanda baca, dll. Jika saya boleh sedikit menguraikan, penyebab fenomena ini sepertinya bukan hanya karena satu-dua hal melainkan beberapa hal yang saling berhubungan. Kurangnya pengetahuan kalangan muda mungkin dikarenakan sistem pendidikan formal dan informal di Indonesia: faktor guru (profesionalime dan metode mengajar), faktor siswa (minat dan bakat) serta faktor kemajuan jaman (kata serapan, pergeseran makna, dsb.). Saudara-saudara boleh menyebut saya sebagai orang yang kaku ataupun idealis, tetapi ini adalah wujud kecil dari usaha saya untuk mencintai Indonesia yaitu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik sesuai situasi terkait.
Curpik selanjutnya adalah mengenai kemampuan saya dalam bercuap-cuap dalam basa Jawa. Saya mengaku kemampuan saya sangat buruk (sekali). Bahasa nenek moyang saya ini memang jauh lebih sulit dibandingkan bahasa Indonesia. Berbicara dalam bahasa Jawa dapat dibedakan dalam beberapa tingkat kesopanan, tergantung ditujukan kepada siapa. Bahasa Jawa tingkat dasar saya (yang paling tidak sopan: ngoko) memang baik-baik saja. Lain halnya, jika saya harus berbicara dengan orang yang lebih tua/ dihormati menggunakan basa krama, saya bisa mati kutu, gelagapan karena bingung dalam memilih kata-kata. Krama sendiri dibedakan menjadi krama madya (madya artinya tengah) dan krama inggil (inggil adalah basa krama untuk kata tinggi). Krama madya digunakan jika kita membicarakan tentang diri sendiri di depan orang lain atau membicarakan orang lain yang tidak terlalu kita hormati. Kita menggunakan krama inggil untuk membicarakan orang yang lebih tua/dihormati. Sebenarnya hal ini tidak hanya terjadi pada saya saja, tetapi keturunan Jawa yang lain juga memperlihatkan degenerasi kemampuan berbahasa Jawa. Bagi saya sendiri, saya bisa menyimpulkan buruknya kemampuan saya karena dalam keluarga saya hampir tidak pernah menggunakan krama. Saya yang dekat dengan orang tua saya hampir tidak pernah menggunakan krama di rumah. Tidak seperti orang tua yang lain, orang tua saya tidak pernah menekankan anak-anaknya untuk kelewat hormat, ternyata ada juga efek samping yang negatif dari kebebasan ini, hahaha. Bahasa Jawa itu sangat indah (menurut saya), karena selain memiliki aksara sendiri, bahasa Jawa juga memiliki nilai seni yang tinggi, contohnya parikan. Saya akan terus berusaha sedikit demi sedikit untuk memperbaiki diri untuk mendalami bahasa Jawa. Sehingga nantinya jika saya memiliki keturunan (jiah, pacar aja gak dapet2), saya bisa mengajarkan bahasa Jawa yang baik komplit dengan krama-nya, amin.
Curpik (maaf, curahan pikiran ini sepertinya lebih terasa seperti keluhan) yang ketiga adalah kemampuan berbahasa Inggris. Saya sering mendapat pujian dari teman-teman saya karena bisa dan berani berbahasa Inggris. Saya sendiri merasa kemampuan berbahasa Inggris saya masih jauh sekali dari baik (good), alias masih rendah (poor). Bukan hanya karena saya tidak pernah belajar bahasa Inggris secara formal di luar bangku sekolah wajib, saya juga belum pernah tinggal di lingkungan yang berbahasa Inggris secara penuh (full-time). Saya kesulitan untuk menemukan teman untuk mengasah bahasa Inggris secara otodidak, setidaknya lewat mengobrol, syukur-syukur bisa berdiskusi. Saya terkadang malu sendiri dengan kemampuan saya yang seumur-umur rasanya terus saja dangkal. Padahal kemampuan ini sangat esensial dan krusial (aduh bahasa saya ketinggian buat saya sendiri, wkwkwk), saya harus membaca jurnal yang kebanyakan berbahasa Inggris untuk mendukung proses belajar. Selain jurnal, sebagai orang yang memiliki hobi membaca, saya juga membaca novel berbahasa Inggris (biasanya hasil unduhan gratis lewat internet, saya ini cinta barang gratisan, hahaha). Saat membaca jurnal atau novel terkadang saya merasa menjadi orang bodoh, karena jumlah kosakata yang belum saya ketahui banyak sekali, entah karena saya pernah tahu lalu lupa atau memang sama sekali belum pernah saya ketahui. Cobaan yang selanjutnya adalah saya masih kurang mampu menangkap interpretasi yang benar dari materi bacaan. Isi jurnal memang tidak serelatif isi novel. Tulisan dalam novel sangat berkaitan dengan persepsi personal si penulis dan bisa mengandung makna konotasi dari bebagai ungkapan yang ada (yang mungkin hanya populer di lingkungan penulis). Inilah alasan saya lebih memiliki novel yang berasal dari Amerika (US, American English) daripada Inggris (UK, British English), karena gaya tulisan orang Amerika kebanyakan lebih blak-blakan dan kosakata yang digunakan tidak terlalu sulit. Buku dengan British English biasanya lebih sulit dibaca karena mengandung kosakata yang rasanya begitu antah-berantah bagi saya. Selain membaca (dan sedikit menulis), saya juga suka berbicara dalam Bahasa Inggris. Sekarang lidah saya sudah tidak terlalu terasa keriting sangat mengucapkan kata-kata berbahasa Inggris, tetapi otak saya masih saja keriting jika harus memikirkan apa kosakata yang harus saya keluarkan, hahaha. Saya ini sangat pelupa, tetapi saya belum mau menyerah untuk terus belajar bahasa Inggris. Kalau saya boleh mengungkapkan passion saya untuk belajar bahasa, saya akan berkata: “I’ll treasure it and keep it growing like a plant”.
Apakah anda juga mengalami sesuatu yang mirip dengan apa yang saya ungkapkan tadi? Jika tidak, anda beruntung, anda sudah tidak memiliki masalah dalam urusan bahasa-berbahasa. Bagi saudara-saudara yang memiliki kesulitan yang mirip, saya hanya bisa memberikan semangat. Anda tentu tidak hanya belajar bahasa Inggris, bukan. Bahasa dari barat seperti Perancis, Jerman, Italia dan Latin sekarang marak dipelajari. Tidak mau kalah, bahasa dari timur juga semakin mendunia. Bahasa Cina (Mandarin), bahasa Jepang dan bahasa Korea juga masuk ke dalam mata pelajaran di sekolah. Bahasa manapun yang anda pelajari, teruslah bersemangat dan jangan lupa untuk tetap menggunakan bahasa ibu kita dengan bijaksana. Happy studying!

Salam lestari, Tien ^^


Comments

Popular posts from this blog

Afgan - Wajahmu Mengalihkan Duniaku [Lyrics with English Translation]

Sirkulasi Darah pada Janin Manusia (Human Fetal Blood Circulation)

Afgan - Bukan Cinta Biasa [Lyrics with English Translation]